Pemilu tahun 2009 yang akan berlangsung sebentar lagi tidak terlepas dari aturan-aturan yang tertuang dalam dalam Undang-undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2008.
Namun demikian isi yang terkandung di dalam Undang-undang tersebut sampai sekarang masih terjadi konflik, salah satunya adalah masalah revisi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD mengenai mekanisme pemberian suara oleh pemilih yang tertera bahwa tehnis memilih suara dengan mencontreng tanda gambar akan di revisi menjadi mencoblos.
Menurut Saifullah Mashun anggota Komisi II dari fraksi Kebangsaan yaitu, berdasarkan hasil simulasi KPU perlu dipertimbangkan untuk diubahnya tehnis memilih suara agar diubah dari mencontreng menjadi mencoblos.
Hal ini dikhawatirkan apabila menggunakan tehnis mencontreng rawan kesalahan akan tinggi misalnya, surat suara bolong, coretan melebihi/melewati batas dan akan mengenai calon lainnya, atau tintanya melebar/luntur sehingga dapat mengimplikasikan menguntungkan partai politik lain.
Sejumlah anggota DPRpun menyarankan agar merivisi juga mengenai mekanisme penetapan calon anggota legislatif bukan didasarkan pada nomor urut, melainkan pada urutan perolehan suara terbanyak.
Tetapi saran tersebut tidaklah semerta langsung disetujui oleh semua anggota DPR, karena ada 32 anggota DPR yang tergabung dalam kaukus Perempuan menentang dan menolak rencan revisi tersebut.
Dikatakan oleh Eva Kusuma Sundari dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, bahwa Surat mengenai Undang-Undang Pemilu sudah dikirim ke Ketua DPR, Pimpinan Badan Legislasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pembedayaan Perempuan.Sementara itu puluhan aktivis perempuan mendatangi Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk memprotes revisi terbatas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pasal 214 jika mekanisme penetapan calon anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak.
Dalam pasal tersebut tercantum bahwa pemilihan calon legislatif didasarkan kombinasi antara perolehan suara 30 % bilangan pembagi dan nomor urut, jika tidak ada calon yang memenuhi ketentuan.
Menurut Yuda Irving aktivis dari Gerakan Perempuan hanya akan digunakan sebagai alat untuk melegalkan strategi internal partai politik untuk meraih suara pemilih sebanyak mungkin, dan dalam rencana revisi tersebut ada beberapa hal yang perlu dikritisi antara lain inkonsistensi dan juga bila memang benar jadi direvisi ini akan menjado tindakan yang inkonsisten.
Untuk menaggapi protes dari aktivis perempuan Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta berjanji akan melanjutkan ke instansi yang berwenang yakni DPR.
Ketua Panitia Khusus Rancangan UU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta mengatakan, “merevisi/melakukan perubahan terbatas tentang Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tersebut harus dimulai dengan konsultasi antara Pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum, agar polemic usulan tersebut tidak teus berlanjut”. Menurutnya pula usulan revisi tersebut sangat terkait keinginan parai politik untuk menentukan calon anggota legislatif terpilih atas suara terbanyak dan proses revisi tersebut harus dari kesepakatan politik fraksi di DPR dan pemerintah untuk menjamin revisi tersebut agar tidak menjadi bola liar yang akan melebar ke materi lain. Karena formulasi revisi itupun beragam, dan diharapkan tidak menghilangkan norma dasar calon yang terpilih yaitu sekurang-kurangnya 30 persen dari bilangan pembagi pemilihan dan formulasi revisi harus dirumuskan adar tidak menjadi beban baru KPU.
Senin, 15 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar