Jakarta - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai pengesahan UU Pornografi merupakan ancaman terhadap hak asasi manusia di Indonesia . ELSAM memandang pengesahan UU Pornografi sebagai preseden yang mengkhawatirkan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia. ELSAM menilai isi UU Pornografi menunjukkan adanya upaya untuk mencampuri kehidupan pribadi dan kebebasan dasar manusia. Intervensi ini merupakan bentuk kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia dalam melindungi kebebasan individu.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif ELSAM, Agung Putri Astrid Kartika dalam rilis yang diterima Modus.or.id di Jakarta, Jumat 30 Oktober 2008. “ELSAM menyesalkan telah dibuatnya UU Pornografi yang gagal memberikan jawaban bagi persoalan pornografi,”kata Agung Putri.
Selain itu, lanjutnya, ELSAM juga menyesalkan lembaga perwakilan rakyat (DPR) yang mengabaikan prinsip dasar pembuatan UU, yaitu: efektifitas.
”Pembuatan UU Pornografi yang bertentangan dengan prinsip dasar Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita UUD 1945 maupun UU No.39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia,”ujarnya seraya menambahkan pihaknya menyesalkan pembuatan UU Pornografi yang mengancam kebebasan dasar manusia sebagaimana yang dihormati oleh bangsa-bangsa di dunia.
Lebih lanjut Agung Putri menjelaskan Pengesahan UU Pornografi adalah kodifikasi yang tidak akurat atas upaya perlindungan dari praktek pornografi di dalam masyarakat.
“ELSAM memandang bahwa kodifikasi ini mengandung 2 hal yaitu pertama merupakan upaya penyeragaman nilai dan cara dalam melindungi masyarakat dari pornografi, yang artinya tidak mengakui atau merendahkan otoritas kebudayaan masyarakat dalam memberikan perlindungan bagi warganya dari pornografi. Kedua, memberikan beban tambahan bagi aparatus penegak hukum untuk mengawasi praktek kehidupan sosial masyarakat yang beranekaragam dan multi tafsir,”terangnya.
ELSAM berpandangan dalam proses pembahasan RUU Pornografi telah muncul perdebatan pro dan kontra terhadap RUU ini. Penolakan terhadap RUU Pornografi tidak berarti dukungan terhadap pornografi. Bahkan, dalam setiap kelompok masyarakat, suku, maupun agama senantiasa terdapat mekanisme social maupun pengaturan yang bersifat kultural maupun spiritual untuk mencegah praktek pornografi. Namun, tidak satupun warga Negara Indonesia yang menginginkan kehidupan pribadinya dicampuri oleh aparat negara atau pihak lain atas nama pornografi. (Gahar).
Minggu, 16 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar